Niah, menjadi seorang perempuan desa dengan jalan pikiran yang kebanyakan orang kota menyebutnya pendek. Ya, begitulah anggapan orang kota terhadap umumnya orang desa. Apabila ada seorang mahasiswa yang berasal dari desa lalu dalam delapan belas atau tujuh belas tahun menikah, maka sebagian besar teman-temannya yang lain (yang mayoritas orang kota) akan berpikiran, “Ooo…. Pantas saja. Dia dari desa ‘ini’.” Namun, seorang Niah di sini bukanlah seorang mahasiswa, lebih parah dari itu, baru saja seorang siswa SMA. Ujian yang akan ditempuh setengah semsester lagi seolah angin lalu baginya. Ya, bukan suatu dosa, atau sesuatu yang salah sebenarnya, kawin (baca: nikah)… daripada lalu terlibat zina? Kuliah? Apa itu kuliah? Sesuatu yang memberatkan… Sepertinya hal yang tak sanggup dilewatinya… Malas berpikir keras… Atau tidak percaya diri, menjustifikasi diri tidak akan bisa menjadi mahasiswa yang kritis, seperti para orator2 demonstrasi itu…. Seperti tokoh…. Dalam film Gie. Lebih enak menjadi ibu rumah tangga. Karena itulah ujung2nya nasib seorang wanita. Menadah uang dari suami…. Tidak usah repot2 bekerja… Menyambut kepulangan suami dari kerja… Melayaninya dan sebagainya. Indahnya… Nikmatnya… Kata2 manisnya. Kelembutannya. Bebas memeluknya. Bebas…. Ahhh…. Normal sajalah apabila terbersit tentang ‘itu’ dipikiran remaja. Apalgi dengan tawaran akan menjadi bebas melakukan’nya’ tanpa rasa bersalah apapun, tanpa resiko apapun, dan, tanpa dosa apapun. Dia akan menjad tau ‘ini’, akan menjadi tau ‘itu’.
Danang… Oh…. Danang…. Betapa manisnya perlakuannya itu. Perhatiannya. Ah, sudah tepatlah. Ini adalah keputusan yang benar. Niah ingin merasakan ‘itu’.
Hanya itukah yang ada dipikiran Niah? Menyedihkan tentunya. Terlalu kontras bagi remaja yang ke depan memiliki cita2 akan menjadi dokter, perawat, arsitek, jaksa, ekonom, manager, dan sebagainya.
Tapi apa mau dikata, hal itu telah merajai pikirannya. Prestasi di sekolah yang tidak terlalu memuaskan, membuatnya semakin merasa jauh dari harapan. Tapi perasaan ini, yang menurut orang lain sedikit berlebihan, sudah tepatlah tempatnya kepada Si Danang. Tidak ada lagi yang bisa menggantikan. Apalagi Si Danang sudah siap. Dengan hanya sebagai seorang pemilik warung kampung??? Tapi begitulah kata Si Danang: siap, ayo.
Effendy, ribut2 mengurusi adik pertamanyanya, Si Niah itu. Sangat ribut sekali. Susah payah dia menembus universitas di provinsi sana, kota besarlah. Dengan harapan menjadi contoh bagi adik2nya yang lima orang itu. Sudah bermimpi2 dia tentang Niah yang akan meneruskan jejaknya. Yang mungkin, akan menjadi juniornya di kampus nanti. Berangkat kuliah bersama…. Pulang kampung bersama… Sukses bersama… Lalu membantu orang tua meninggikan pendidikan keluarga. Ah… Tapi… Shit!!! Kenapa Niah harus begitu… Siapa yang salah sebenarnya.
Dipukul? Sudah dipukulnya Si Niah itu. Tapi tak mempan juga. Harus dengan apalagi? Kecewanya… Seperti kecewanya orang tua yang mendapati anaknya ternyata hamil di luar nikah. Ditambah lagi orang tuanya yang mendukung keputusan Niah itu. Malah banyak memberikan hadiah pada calon besan. Sayur dari kebun, dan sebagainya dari kebun keluarga.
Pandangan orang desa, di mana, seorang lelaki asing yang terlalu banyak bertamu, maka perempuan dan keluarga yang dikunjunginya akan digunjing… dikira yang macam2… itulah yang membuat melanjutkan hubungan pacaran saja sulit dilakukan. Tapi Si Niah sudah cinta mati dengan Si Danang, tidak dapat berpisah lagi rasanya, lalu apa? Ya kawin!
Persetan dengan nasehat bibi, paman, dan sebagainya itu… Saudara di kota sana, yang sarjana dan calon sarjana menyusahkan saja, membuat Si Niah dinasehati, tepatnya diceramahi terus, harus menjadi seperti mereka itu. “Biarkan saja mereka, kenapa memang denganku? Aku ingin begini. Mereka ingin begitu. Ya begitu saja,” jawaban Niah. Begitu juga dengan Si Effendy, terinspirasi dari dua orang saudara itu, yang diagung2kan oleh keluarga itu… baru mereka berdua yang bisa menembus pendidikan sarjana dari keluarga yang lebih banyak tinggal di desa ini, yang umumnya sampai SMA saja, yang umumnya lelaki setelah lulus SMA bekerja, lalu yang perempuan kawin…
Kembali kepada jalan pikiran Niah, bahwa Danang yang akan menikahinya itu, hanya menghitung hari tibanya hari lamaran, datanglah Niah kepada emaknya, “Mak, aku minta uang ‘segini’.” Setengah terkejut dia ketika Si Emak menjawab, “Mintalah kau pada Si Danang, toh seterusnya nanti tempat memintamu adalah dengan dia.” Ya, benarlah, pikir Niah. Lalu pergilah dia ke Si Danang, “Bang, kasihlah binimu ni uang ‘segini’.”
“Haduh… Untung warung hari ini hanya ‘segini’,”
Maka berpikirlah lagi Si Niah untuk menikah dengan Si Danang.
Jumat, 05 Maret 2010
Kamis, 04 Maret 2010
ASAL MULA NAMA KOTA SAMPIT
Ini bukan suatu histori, tapi sebuah dongeng jaman2 gue kecil dulu. Dongeng ini berasal dari almarhum kakek gue. Dulu, cucunya yang puluhan itu suka kumpul di rumahnya. Jadilah dikisahkannya dongeng2. Salah satunya yang ini…
Pada jaman dahulu, hiduplah seorang kakek di sebuah hutan dimana kota Sampit berada. Kakek tersebut bernama Sampit. Dia hidup seorang diri di hutan itu dengan rumah yang sangat sederhana. Pekerjaannyanya mencari kayu bakar dan berkebun seadanya untuk makan sehari-hari.
Pada suatu hari, datanglah sebuah kapal yang berisi orang-orang Belanda, menyusuri sungai Mentaya. Mereka tersesat di daerah itu. Kapal mereka pun rusak. Jadilah mereka menepi ke daratan tempat Kakek Sampit tadi tinggal. Mereka masuk ke hutan dan bertemu dengan Kakek Sampit. Begitu bertemu mereka Kakek Sampit terkejut dan langsung merasa terancam.
“Mau apa kalian ke sini?!” Katanya sudah mengambil ancang2 dengan senjatanya.
“Tidak, Kek. Niat kami ke sini baik2. Kami terpaksa terdampar di hutan ini. Kami tersesat dan kapal kami sedang rusak.” Jawab pemimpin kapal.
“Oo… Kalau begitu, tinggallah kalian di rumahku sampai kapal kalian diperbaiki.”
Tidak menyangka juga seorang pemimpin kapal Belanda itu akan jawaban Si Kakek. Jadilah mereka tinggal di rumah Kakek Sampit selama beberapa hari. Dengan senang hati Kakek Sampit memberi mereka makan. Sampai akhirnya kapal mereka diperbaiki dan mereka pun harus meninggalkan daerah itu. Pemimpin kapal Belanda yang tersentuh dengan kejadian itu pun berjanji, dia akan selalu mengingat Kakek Sampit, akan selalu mengingat daerah itu sehingga daerah itu disebutnya Sampit, yaitu tempat Kakek Sampit tinggal. THE END.
Created by Ummu Rahayu
Pada jaman dahulu, hiduplah seorang kakek di sebuah hutan dimana kota Sampit berada. Kakek tersebut bernama Sampit. Dia hidup seorang diri di hutan itu dengan rumah yang sangat sederhana. Pekerjaannyanya mencari kayu bakar dan berkebun seadanya untuk makan sehari-hari.
Pada suatu hari, datanglah sebuah kapal yang berisi orang-orang Belanda, menyusuri sungai Mentaya. Mereka tersesat di daerah itu. Kapal mereka pun rusak. Jadilah mereka menepi ke daratan tempat Kakek Sampit tadi tinggal. Mereka masuk ke hutan dan bertemu dengan Kakek Sampit. Begitu bertemu mereka Kakek Sampit terkejut dan langsung merasa terancam.
“Mau apa kalian ke sini?!” Katanya sudah mengambil ancang2 dengan senjatanya.
“Tidak, Kek. Niat kami ke sini baik2. Kami terpaksa terdampar di hutan ini. Kami tersesat dan kapal kami sedang rusak.” Jawab pemimpin kapal.
“Oo… Kalau begitu, tinggallah kalian di rumahku sampai kapal kalian diperbaiki.”
Tidak menyangka juga seorang pemimpin kapal Belanda itu akan jawaban Si Kakek. Jadilah mereka tinggal di rumah Kakek Sampit selama beberapa hari. Dengan senang hati Kakek Sampit memberi mereka makan. Sampai akhirnya kapal mereka diperbaiki dan mereka pun harus meninggalkan daerah itu. Pemimpin kapal Belanda yang tersentuh dengan kejadian itu pun berjanji, dia akan selalu mengingat Kakek Sampit, akan selalu mengingat daerah itu sehingga daerah itu disebutnya Sampit, yaitu tempat Kakek Sampit tinggal. THE END.
Created by Ummu Rahayu
Langganan:
Postingan (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2010
(9)
- ► 11/21 - 11/28 (1)
- ► 03/28 - 04/04 (3)
- ► 03/14 - 03/21 (1)
- ► 03/07 - 03/14 (2)